Artikel

SEJARAH DESA

20 Maret 2025  Administrator  18 Kali Dibaca 

SEJARAH DESA SURANADI

Desa                   : Suranadi

Kecamatan          : Narmada

Kabupaten          : Lombok Barat

  1. Sejarah Asal Usul Warga

Sekitar  tahun 1812 ( Gusti  Gede Kaler/Gusti Sontrot, Gusti Komang Pensong, dan Gusti Ketot Abian/Bontok ) yang merupakan Transmigran dari Abian tubuh yang datang ke Suranadi, pada saat itu Belanda masih menguasai  wilayah tersebut yang di Pimpin oleh Jendral Nandres yang kemudian di susul oleh Raja/Ratu Belanda yaitu Sri M. Minah, yang tinggal di Pesanggahan Hotel Suranadi dimana tempat tersebut di bangun oleh Anak Agung di jaman Pemerintahan Belanda.

Pada Zaman Anak Agung wilayah Suranadi dibagi menjadi dua wilayah berdasarkan agama yang ada di wilayah tersebut yaitu wilayah utara di berikan kepada Masyarakat yang beragama Muslim dan bagian selatan untuk masyarkat yang beragama Hindu. Untuk wilayah utara tokoh yang pertama masuk adalah Papuk Salinah dan Papuk Jawisah dan tokoh untuk wilayah Selatan adalah Anak Agung. (Narasumber : Gusti Ketut Swardi)

Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa asal usul penduduk Desa Suranadi bearasal dari Selat, sekitar tahun 1927 Papuq Mailam dan Papuq Silah yang bearasal dari Selat dan berkebun, kemudian menetap di  Kalimanting. Keturunan dari tokoh tersebutlah yang sampai saat ini mendiami Desa Suranadi.

  1. Sejarah Pemerintahan

Desa Suranadi adalah salah satu Desa dari 21 Desa yang ada di Kecamatan Narmada yang berdiri sejak Tahun 1998, awalnya merupakan bagian dari Desa Selat. Kronologis terbentuknya Desa Suranadi adalah sebagai berikut :

  1. Tanggal 28 Oktober 1998, dikeluarkannya SK Bupati Lombok Barat No. 140/01/PEMDES/1998, tentang Usulan Pemekaran Desa;
  2. SK Bupati Lombok Barat No. 158 tahun 1998, tanggal 16 Nopember 1998 tentang Pengesahan Keputusan Desa Kecamatan Narmada;
  3. Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 9 tahun 1999, tanggal 27 Februari 1999 tentang pengesahan pembentukan Desa Suranadi sebagai Desa Persiapan;
  4. Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 408 tahun 2000, tanggal 3 Maret 2000 tentang Pengesahan Desa Persiapan Suranadi menjadi Desa Definitif Suranadi.

Pada awal terbentuknya Desa Suranadi hanya terdiri dari 5 Dusun, yaitu Dusun Suranadi Utara, Dusun Suranadi Selatan, Dusun Kalimanting, Dusun Eyat Kandel dan Dusun Pemunut, dengan pejabat masing-masing dusun saat itu adalah sebagai berikut :

  1. Suranadi Utara : M. Saleh
  2. Suranadi Selatan : I Gusti Made Parsa
  3. Kalimanting          : Nasirun
  4. Eyat Kandel          : I Nyoman Adwisana
  5. Pemunut          : I Gede Kantun

Atas prakarsa masyarakat, pada tahun 2007 Desa Suranadi memekarkan dusun-dusunnya, sehingga sejak tahun tersebut Desa ini terdiri dari 8 Dusun, yaitu :

  1. Suranadi Selatan, Suranadi Utara dan Kalimanting dimekarkan menjadi 5 dusun, yaitu :
  2. Suranadi Selatan dengan Kepala Dusun I Nengah Sirna
  3. Suranadi Utara dengan Kepala Dusun M. Saleh
  4. Kalimanting dengan Kepala Dusun Nasirun
  5. Suranadi Barat dengan Kepala Dusun I Gusti Lanang Suniarta
  6. Orong Sedalem dengan Kepala Dusun (Pjs) Lalu Endi
  7. Eyat Kandel dan Pemunut dimekarkan menjadi 3 dusun, yaitu :
  8. Eyat Kandel dengan Kepala Dusun I Nyoman Adwisana
  9. Pemunut dengan Kepala Dusun I Made Kartia
  10. Kuang Mayung dengan Kepala Dusun (Pjs) I Nengah Segara

Dan terakhir pada tahun 2015, salah satu Dusun kembali mengajukan pemekaran, sehingga sampai saat ini Jumlah dusun di Desa Suranadi menjadi 9 dusun dengan dusun terbaru masih menjadi dusun persiapan yaitu Dusun Ranget.

Sampai saat ini Desa Suranadi telah memasuki 5 Periode jabatan Kepala Desa, yaitu :

  1. Periode I (tahun 1998 – 2000; Desa Persiapan) dijabat oleh Bapak AREP,
  2. Periode II (tahun 2000 – 2006; Desa Definitif) dijabat oleh Bapak AREP,
  3. Periode III (tahun 2006 – 2013) dijabat oleh Bapak AREP,
  4. Periode IV (tahun 2013 - 2019) dijabat oleh Bapak I NYOMAN ADWISANA.
  5. Periode V (tahun 2019 sampai sekarang) dijabat oleh Bapak I NYOMAN ADWISANA, S. Fil.

 

  1. Sejarah Penguasaan Wilayah ( Tenurial )

Pada awalnya wilayah Suranadi masih merupakan kawasan hutan, penduduk pertama datang untuk berkebun dan bertani. Wilayah Suranadi di saat itu di bagi berdasarkan agama, yaitu agama Hindu di bagian selatan di bawah kekuasaan Anak Agung dan Agama Islam dibagian utara yang di pimpin oleh Papuq Jawisah dan Papuq Salinah,  pada saat itu masyarakat di berikan kebebasan untuk mengelola di wilayah Suranadi dan kemudian membeli wilayah yang di kelola tersebut. Kebanyakan masyarakat tersebut adalah transmigran yang asalnya tidak diketahui pasti oleh masyarakat saat ini, namun beberapa masyarakat beranggapan bahwa asal mereka ada dari Bayan Lombok Timur, Bali dan Kerajaan Blambangan Jawa. Masyrakat tersebut kemudian menetap dan bermukim di beberapa wilayah Suranadi dan sampai saat ini kepemilikan penduduk saat ini atas tanah kebanyakan adalah pemberian turun temurun dari orang tua/nenek moyang mereka sampai saat ini, namun ada juga yg telah membeli dari penduduk lokal dan kemudian menetap di Suranadi.

 

  1. Sejarah Tempat Penting
  2. Sejarah Pura Suranadi

Pura Suranadi berada di Desa Suranadi, Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat. Dari Kota Mataram berjarak sekitar 15 Km ke arah timur laut. Pura tersebut berada di lokasi yang berbeda yaitu disebut Pura Ulon,Pura Majapahit, Pura Pengentas dan Pura Pebersihan. Lokasi Pura-pura ini dikelilingi oleh hutan wisata, persawahan, jalan raya, tempat berjualan dan penginapan. Terletak pada ketinggian 256 meter di atas permukaan laut.Secara etimologis, Suranadi berasal dari kata “sura” (dewa) dan “nadi” (sungai).Dalam kamus bahasa jawa kuno disebutkan bahwa Suranadi juga berarti “Kahyangan”, tempat para dewa bersemayam.

Keberadaan Pura Suranadi tidak terlepas dari Kisah perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang kedua kalinya ke tanah Lombok ini dan juga upacara pengabenan pertama di lombok sekitar abad ke-16.

Di ceritakan pada waktu Danghyang Dwijendra datang pertama kali ke Lombok, dijumpai  oleh Beliau adanya orang-orang Bali yang berdomisili di Dusun Medayin. Mereka telah memuja Bhetara Gede Muter Jagat. Atas permohonan orang-orang yang tinggal di Medayin itu maka Sang Bethara menganugrahi mereka untuk berpindah tempat dari Medayin ke suatu tempat yang terletak di sebelah utara dan di sebelah barat sebuah sungai. Tempat yang baru itu diberi nama Karang Medain.

Pada suatu hari Mpu Dwijendra melintas di Karang Medain  dan   bertemu dengan salah seorang penduduk bernama I Gede Butaq. Dia itu sedang mempersiapkan tempat kremasi mayat pamannya yang bernama I Gede Batuhu yang meninggal tadi malamnya. Mpu Dwijendra memberikan petunjuk kepada I Gede Butaq bahwa hari ini tidak baik untuk membakar mayat  maupun Ngaben, tetapi  yang baik adalah lima hari lagi dari sekarang, tepatnya pada hari Wrespati Pon wuku Uye tanggal ping tiga belas purnamaning sasih ke-dasa. Sang Mpu akan diminta untuk Muput atau menuntaskan upacara tersebut. I Gede Butaq juga memperkenalkan sanak saudara yang lain kepada Dang Hyang Dwijendra. Disebutkan bahwa ayahnya bernama I Gede Pageh yang berstatus Bendesa Banjar, bersaudara dengan I Gede Batuhu yang berstatus Kliang Banjar. Sedangkan Gede Batuhu berputra bernama I Wayan Para.

Tepat pada hari yang disepakati I Gede Butaq bersama I Wayan Para datang menjemput Mpu Dwijendra di Asramanya di Dasan Agung. Tetapi ternyata Sang Mpu telah pergi meninggalkan Asrama berjalan menuju kearah utara timur. Atas petunjuk seorang warga sasak maka I Gede Butaq dan I Wayan Para berusaha mengejar Sang Mpu yang baru saja berjalan ke arah timur. Setelah berjalan cukup jauh akhirnya di sebuah hutan mereka menjumpai Mpu Dwijendra sedang duduk di atas batu di bawah pohon beringin. Setelah I Gede Butaq menyampaikan maksudnya seraya mengingatkan tentang kesepakatan mereka ternyata Beliau mengaku lupa sambil mengatakan bahwa kejadian ini memang kehendak dari Yang Maha Kuasa.

Mpu Dwijendra selanjutnya menunjuk pohon bambo dan menyuruh I Gede Butaq dan I Wayan Para membuat empat buah Bumbung (yaitu buluh bambo yang dipotong untuk tempat menampung sesuatu). Setelah ke empat Bumbung selesai dibuat, maka Mpu Dwijendra berdiri seraya mengambil tongkat. Sang Mpu kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah. Setelah beberapa saat tongkat itu dicabut maka keluarlah air yang meluap-luap bahkan sampai mancur. I Gede Butaq disuruh mengambil air tersebut dengan salah satu bumbung yang telah disiapkan tadi. Mpu Dwijendra menyuruhnya untuk memberi tanda dengan helai daun kayu, lalu bersabda bahwa air itu bernama “Tirtha Pebersihan”. Dan sekarang kita mengenal dengan Nama pura Pembersihan.

Danghyang Dwijendra kemudian berjalan ke arah timur diiringi oleh I Gede Butaq dan I Wayan Para. Setelah berjalan kurang lebih lima puluh Depa, karena pada saat itu tidak ada meteran. Selanjutnya Beliau menancapkan kembali tongkatnya seperti tadi maka keluarlah air yang meluap-luap. Danghyang Dwijendra memberi tahu bahwa air tersebut bernama “Tirtha Pelukatan”.

Danghyang Dwijendra kemudian berjalan ke arah timur laut sampai sekitar lima Depa barulah melakukan hal yang sama yaitu menancapkan tongkatnya maka keluarlah air mencirat bersuara gemuruh. Beliau memberi tahu mereka berdua bahwa air itu bernama “Tirtha” yang selanjutnya disebut “Tirta Gamana”. Hingga sekarang tempat munculnya tirta pelukatan dan tirta Gamana ini di beri nama pura Suranadi Ulon.

Setelah itu Danghyang Dwijendra berbalik jalan ke arah barat daya kurang lebih sejauh lima belas Depa. Beliau kembali menancapkan tongkatnya maka keluarlah air yang kemudian diberi nama “Tirtha Pengentas dan Toya Tabah. Jadi di Pura Pengentas ini di temukan dua macam tirtha yaitu tirtha pengentas dan toya Tabah, Dijelaskan oleh Beliau bahwa “Tirtha Pengentas” digunakan untuk upacara “Pitra Yajna” yang bertujuan supaya Sang Atma (arwah) yang diupacarakan tersebut berhasil menemukan jalan menuju asalnya. Sedangkan Toya Tabah digunakan untuk pemuput upacara Pitra yadnya, yang di Bali dikenal dengan nama Tirta Penembak.

Sang Mpu menjelaskan kembali kegunaan Tirtha yang lainnya. “Tirtha Pebersihan” digunakan untuk menghanyutkan Mala atau kekotoran yang berasal dari luar diri atau luar badan agar menjadi suci. “Tirtha Pelukatan” digunakan untuk menyapu Mala yang ada di dalam diri yaitu enam musuh dalam diri yang disebut Sad Ripu. Sedangkan Tirtha Gamana digunakan untuk menguatkan Sraddha, membuang pikiran negative dan memerangi tujuh macam kegelapan yang disebut “Sapta Timira”.

Selanjutnya Mpu Dwijendra bersabda : “ Nah sekarang, hutan ini Mpu beri nama Suranadi”. Sura berarti orang yang telah berhasil melaksanakan Yoga Jnana atau dapat juga diartikan "Dewa". Nadi berarti orang yang menebar  kesucian atau juga dapat diartikan "Sungai". Setelah itu I Gede Butaq dan sepupunya disuruh segera pulang. Akhirnya kedua saudara sepupu ini segera kembali ke Karang Medain.

I Gede Butaq dan I Wayan Para dengan membawa empat buah bumbung  berisi Tirtha yang ditutup daun paku telah sampai di Karang Medain. Kemudian menjumpai bapaknya yaitu I Gede Pageh yang statusnya Bendesa Banjar. Kepada bapaknya diceritakan bagaimana sampai memperoleh empat bumbung  Tirtha.  I Gede Pageh akhirnya memanggil sekalian Sekaha Banjar termasuk kepada I Ketut Kayun sebagai pemegang  Awig-awig atau   peraturan. Kepada warga banjar disampaikanlah apa yang disebut “Tirtha” yang diciptakan Mpu Dwijendra alias Ida Bhetara Sakti Waurauh yang  berada di Suranadi. Pemberian Tirtha dari tengah hutan itu digunakan sebagai  dasar agama untuk memberi penerangan kepada diri sendiri sehingga dinamakan “Gama Tirtha oleh Mpu Dwijendra bagi warga Baliage di Karang Medain.

Setelah Danghyang Dwijendra selesai membuat mata air suci atau Petirthan di Suranadi maka Beliau melanjutkan perjalanan ke arah utara. Beliau akhirnya menginap di suatu tempat yang kemudian diberi nama “Majapahit”. Beliau menginap ditempat itu selama sebelas hari.  Kemudian Beliau kembali melakukan perjalanan kearah utara menuju daerah Bayan. Di sana beliau mengajarkan warga masyarakat tentang ajaran Wetu Telu.

Pura Suranadi memiliki kelompok Pura. Masing-masing diberi nama sesuai dengan fungsi sumber air yang ada di dalamnya. Masing-masing pura itu memiliki area jaba sisi, jabatengah, jeroan (tri mandala). Pura-pura tersebut, antara lain (1) Pura Ulon, yakni terletak di ujung timur laut, berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam, halaman Pura Ulon terdapat Mata Air Panglukatan dan Petirtan; (2) Pura Pangentas, terletak tidak jauh dari Pura Ulon ke arah barat daya, Pura ini dilengkapi dengan dua palinggih dan terdapat Mata Air Pangentas, Panembak, dan Tirta Mapepada, Pura ini difungsikan sebagai tempat mengambil air untuk upacara pitra yadnya; dan (3) Pura Pabersihan yang berlokasi sekitar 300 meter dari Pura Ulon, Pura ini memiliki Mata Air Pabersihan dengan beberapa macam palinggih dan bangunan pelengkap upacara.

Versi Lain Juga mengatakan Bahwa Suranadi tumbuh menjadi satu kawasan bermukim sejak kedatangan seorang Bangsa India penyebar agama Hindu: Dang Hyang Nilarta Sekitar abad ke XIII-XIV untuk mengunjungi Pulau Jawa, Bali dan Lombok dengan berjalan kaki sambil membawa tongkat sakti. Sesampainya di Lombok beliau diiringi rombongannya yang setia. Sampai di Lingsar beliau dan rombongan istirahat, setelah merasa segar perjalanan diteruskan masuk Suranadi. Saat itu Suranadi masih berupa hutan lebat dipenuhi satwa liar. Melihat kondisi hutan yang masih asri dan sejuk, rombongan istirahat. Dalam istirahat tersebut Beliau menancapkan tongkatnya ke tanah di dalam lima tempat yang berlainan. Ketika togkat dicabut seketika itu pula air menyembur sehingga tempat tersebut menjadi mata air dan sampai kini menjadi tempat masyarakat mengambil air keperluan upacara keagamaan Hindu.

Kelima Mata Air (panca Tirtha) tersebut adalah :

  1. Tirtha Tabah :Tirtha Untuk Muput Upacara Pitra Yadnya,
  2. Tirtha Pembersihan : Tirtha Untuk Sawa ( Jenasah ) Sebelum Di berikan Tirtha Pengentas,
  3. Tirtha Pengentas : Di berikan Pada Sawa (Jenasah) Sebelum Dimakamkan/ngaben
  4. Tirtha Penglukatan : Digunakan Untuk Pembersihan diri dan digunakan juga pada upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya,
  5. Patirthaan : Di gunakan Pada Puncak acara Prasadam.

Selain Fungsi-fungsi tersebut Diatas,saat ini Tirtha Pembersihan Dan Pengentas Sering Juga berfungsi untuk Pengobatan dan Membuka jalan Spiritual, Pada hari-hari tertentu banyak Warga yang melakukan mandi sacral pada aliran tirtha pembersihan dan Pada Airan Tirtha Pengentas.

Pura Suranadi Memiliki tiga Komplek Pura Yaitu :

  1. Pura Ulon Yang terletak di Ujung Laut Berbatasan langsung dengan Hutan Lindung.
  2. Pura Pengentas, Terletak beberapa Meter kea rah barat dari pura Ulon dan terdapat dua Pelinggih yang sangat sederhana dibandingkan dua pura yang lain,
  3. Pura Pembersihan, Terletak kira-kira 300 meter dari Pura Ulon, di Pura ini hanya ada satu mata air, sedangkan di pura Ulon terdapat Dua Mata air.
;

Kirim Komentar


Nama
No. Hp
E-mail
Isi Pesan
  CAPTCHA Image  
 

  Statistik

 Agenda

Belum ada agenda

  Sinergi Program

 Aparatur Desa

Back Next

 Komentar

 Media Sosial

 Peta Wilayah Desa

 Peta Lokasi Kantor


Kantor Desa
Alamat : Jln. Suranadi - Sesaot, Narmada Lombok Barat
Desa : Suranadi
Kecamatan : Narmada
Kabupaten : Lombok Barat
Kodepos : 83371
Telepon : 081916014009
Email : Suranadijuara@gmail.com

  Statistik Pengunjung

  • Hari ini : 25
    Kemarin : 102
    Total Pengunjung : 3,083
    Sistem Operasi : Unknown Platform
    IP Address : 216.73.216.248
    Browser : Mozilla 5.0